Tetapi,
bagi anak yang minim ‘prestasi’, terkadang hanya mendapat perbandingan dari
orang tuanya. “Nggak kayak si Anu, liat dong si Itu” dan perkataan sejenisnya
yang intinya berharap agar si anak mengukir ‘prestasi’. Kalaupun tak bisa juara
kelas, paling tidak lima
besar, delapan besar, sepuluh besar, atau juara cerdas cermat, melukis, dan
lainnya.
Apakah
dengan mengucapkan secara verbal keinginan orang tua terhadap anak—yaitu agar
si anak ber’prestasi’-- membuat sang anak bersemangat memenuhi keinginan orang
tua? Sebagian anak bisa demikian. Tetapi, pada dasarnya setiap anak ingin
dihargai sebagai diri mereka sendiri. Anak pertama saya, Jita, seringkali
melakukan sesuatu dengan caranya yang unik.
Sampai saat
ini, Jita selalu mempunyai cara unik dalam melakukan sesuatu. Ia membuatkan
lembar belajar untuk Aisyah, adiknya. Dia membuat sendiri cara belajar membaca
yang nyaman untuknya, bahkan dia memberi instruksi kepada saya dalam
mempelajari beberapa hal. Dia juga menggambar dengan cara yang unik. Ia
menggambar ‘rumah’ tidak seperti kebanyakan anak lain menggambarkannya. Ia
menggambarkan ‘rumah’ dengan sudut--menggambar perspektif--. Ia menggambarnya dari sudut samping rumah
tersebut, seolah-olah rumah itu dilihat dari sudut samping orang yang
memandangnya, dan sudah tiga dimensi.
Jita sangat
suka menggambar ruang dan interior, seperti kamar, kamar mandi, ruangan yang
dipenuhi perabot, dan juga pakaian. Tetapi, saya masih tidak mengerti,
bagaimana Jita bisa menggambar perspektif? Saya mencoba
melihat-lihat lagi hasil menggambarnya. Hampir semua benda yang
digambarnya—mulai dari rumah, tempat tidur, lemari, kursi, dan
sebagainya—digambarkan tiga dimensi.
Setelah
saya ingat-ingat, saya menduga, ia bisa melakukan itu karena pernah melihat
saya menggambar desain lemari. Tiga tahun lalu saya meminta tolong kepada Pak
Yono-- tukang kayu langganan kami-- untuk membuatkan lemari buku yang bisa
terpisah-pisah, dipindahkan, dan dilipat. Lalu saya menggambarkan desainnya.
Untuk memudahkan pemahaman Sang Tukang Kayu, saya menggambarkannya secara tiga
dimensi, sehingga hasilnya sesuai dengan yang saya inginkan.
Saat itu
usia jita belum 4 tahun, tetapi minatnya pada menggambar memang sudah tumbuh.
Saya tak habis pikir, ternyata pengalaman tak terencana itu benar-benar
memberi inspirasi baginya. Saat saya mendesain lagi lemari baju dan meja
belajar, dia mulai ikut-ikutan membuat desain, saya memujinya tetapi tak
menyangka prosesnya ternyata terus berlanjut di kepala Jita.
Tetapi,
pernahkah Jita menjadi juara lomba menggambar? Tidak. Suatu kali ia
mengirimkan hasil gambarnya ke majalah anak-anak, tetapi sampai beberapa edisi
selanjutnya, gambar Jita tak pernah ‘tampil’ di majalah tersebut. Ia lalu
kecewa, dan saya mengatakan bahwa gambarnya sudah baik, tetapi mungkin menurut
redaksi masih ada gambar lain yang lebih baik, tetap ia kecewa.
Lalu saya
tidak pernah lagi berkeinginan mengirimkan gambar-gambar Jita, paling tidak
sampai ia mengerti betul bahwa menjadi lebih baik bagi diri sendiri adalah
lebih penting daripada menjadi ‘juara’. Saya semakin yakin bahwa fokus utama
dalam pendidikan adalah proses, hasil adalah buah dari proses yang panjang, berkesinambungan,
disertai contoh/teladan dari pendidik/orang tua.
Seperti
malam ini, saya menemukan kertas bekas yang ditempel-tempel menyerupai buku kecil, lalu di halaman
sampulnya tertulis ‘Buku I love Flower’. Baru halaman pertama yang sempat
ditulis Jita :’Flower is Good’, hmmmm….habis ini saya pikir dulu ya, kapan saya
mengajarinya persis seperti itu?
Waaah Mba jita kerennn,,
BalasHapusminta ummi buat upload gambar gambar karyanya mba jita dongg,, biar Azzam bisa lihat,,
tetep semangat ya,,
Kalo Aisyah sama Bassam lagi suka apa,,,??
maunya sih gambar dan hasil karya Jita di foto, terus di unggah, tapi nunggu kameranya dibeli dulu yaaa...he he he...Aisyah ikut-ikutan Jita aja Mbak, kalo Bassam bagian ngerecokin, hih ...
BalasHapus