Suatu hari, Harits masuk rumah dengan sangat kesal sambil
berteriak: “Curang, beraninya keroyokan”. Dia adalah seorang anak dengan pemahaman
melebihi anak-anak seusianya tentang harga diri, padahal Harits tak sekalipun
pernah belajar di kelas, di ruang sekolahan. Yang dia pahami, tak ada seorang
manusia pun yang berhak menghalangi orang lain untuk pergi ke masjid, menghadap
robb nya. Inilah awal pergulatan Harits mengatasi bullying yang menimpanya, melawan ketidakadilan versinya, dan
berpikir cerdas mencari solusi.
Sang ibu berusaha menenangkan karena mengetahui sifat keras
dan mudah marah Harits. Ia memberinya masukan, nasehat, dan lainnya. Tetapi Harits
sudah terlanjur merasa harga dirinya diinjak-injak. Entah apa yang dipikirnya
setelah kejadian itu. Beberapa waktu setelahnya Harits mendatangi satu per satu
dari 5 anak yang mengeroyoknya saat sepulang isya, ia hajar, lalu kabur.
Sejenak ia merasa puas karena telah menghukum secara setimpal para pengeroyok
itu, yah, paling tidak menurutnya. Ternyata itu bukan solusi. Harits tetap jadi
sasaran kelima anak tadi. Ia masih tetap di ‘palak’.
Lagi-lagi, ibunya tetap tenang, menasehati, dan mengajak
berpikir tentang solusi yang tepat. Bahkan Harits harus berlari cepat atau
sembunyi-sembunyi saat pergi/pulang dari masjid untuk menghindari pemerasan.
Sang Ibu tidak larut dalam masalah. Ia tetap menganggap masalah tersebut
sebagai tantangan bersama yang harus dihadapi.
Rupanya seiring waktu berjalan, Harits dengan kemampuan
berpikir analitisnya menemui celah. Ketua ‘genk’ pemeras rupanya memiliki
beberapa ‘musuh’ juga. Anak-anak yang juga pernah menjadi korban pemerasan tak
menyukainya. Di sisi lain, Harits semakin banyak memiliki teman. Walapupun
warga baru di lingkungan itu, Harits telah menjalin pertemanan dengan beberapa
anak yang usianya di atas mereka. Harits bilang: “Aku punya tim’.
Bukan, Harits tak mengajak timnya untuk berkelahi, tetapi
melemparkan ‘wacana’. Ya, ini bahasa saya sebagai ‘pengamat’ masalah Harits.
Laki-laki 9 tahun itu mampu bernegosiasi, menyusun strategi, dan
mengorganisasikan teman-temannya, sehingga muncullah pemahaman di kalangan
teman-temannya, mereka tidak menyukai tindakan pemerasan dan pengeroyokan. Harits menyusun langkah strategis,
merencanakan ‘hukuman’ psikologis untuk para bully yang semuanya merupakan anak
sekolahan.
Wacana tersebut akhirnya menyebar ke seantero lapangan,
tempat bertemunya berbagai macam anak. Anak yang dididik sekedarnya, yang
dibiarkan, dan anak-anak dengan perhatian luar biasa dari orang tuanya. Harits telah siap dengan peluru-pelurunya.
Suatu hari, saat ketua genk pengeroyok itu bermain petasan,
Harits bersama teman-teman yang lain bersepakat (tanpa diketahui si ketua
genk). Jika si ketua genk tersebut masih terus bermain petasan, ia akan
ditinggalkan. Benar saja hal itu terjadi. Lain waktu, kakak dari 3 adik ini
mengajak teman-temannya meninggalkan anak berbadan besar itu saat bermain petak
umpet. Saat ia berjaga, teman-teman yang lain pulang. Ternyata hukuman seperti
ini efektif membuat si ketua genk jera.
Harits merasa strateginya berhasil.
Harits telah mengalami masa-masa yang sulit menghadapi
bullying. Mulai dari sangat marah, bahkan akibatnya, ia menjadi mudah marah ke
adik-adiknya, sampai keluar ide cemerlangnya mengatasi bullying. Semua ini
berjalan dalam waktu lebih dari 2 bulan.
Ini kisah anak-anak. Tetapi bagi saya maknanya dalam. Seorang
anak yang tak bersekolah, yang tertanam identitas kuat dalam dirinya.
Anak yang dididik dalam benteng akidah,
dimana pelajaran budi pekerti bukanlah tentang memilih jawaban a,b,c, atau d.
Ini bukan dongeng, tetapi terjadi di masa digital ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar