Memilih menjalankan
homeschooling, berarti kita siap menjalankan sebuah konsep yang (hampir saja) dimulai dari nol sama sekali. Membangun sebuah sistem pendidikan keluarga, dengan (mungkin) sangat deg-degan dan setengah merasa nekad. Hal tersebut saya rasakan saat beberapa bulan pertama menjalankan Homeschooling. Rasanya seperti melintasi sebuah jalan yang sepi, baru dibuka, dan belum terpasang rambu-rambu di dalamnya.
Dengan 'bismillah' dan sedikit keraguan untuk memulai, saya mengajak bergabung bersama beberapa ibu di sekitar rumah untuk membentuk komunitas
homeschooling. Pencarian tentang tips, trik, materi, dan sebagainya masih terus berlangsung. Beberapa kali saya dan teman-teman berkumpul bersama untuk melakukan kegiatan. Kami juga mengadakan acara yang lebih besar bersama komunitas lain.
Dari beberapa hal yang saya dan teman-teman pesekolah rumah lewati, saya melihat, pesekolah rumah tersebut lebih sering mengambil inisiatif. Seorang teman yang menginginkan anak-anaknya baik dalam hafalan, berinisiatif membuat kelompok hafalan anak-anak. Seorang ibu yang melihat anaknya tertarik dalam dunia menjahit, mendukungnya dengan membantu mencari tahu situs-situs yang diperlukan, serta alat-alat yang relatif mudah untuk anak-anak. Serta banyak lagi hal lain yang memerlukan inisiatif seorang ibu/orangtua dalam menjalankan
homeschooling.
Dalam tulisan ini fokus saya adalah pada sosok ibu. Saya menyebutkan ibu saja, karena pada kenyataannya porsi terbesar dalam menjalankan homeschooling dipegang oleh ibu. Walaupun dalam beberapa kasus ada juga keluarga yang menjalaninya dengan porsi yang hampir sama antara ibu dengan ayah.
Posisi ibu dalam
homeschooling menurut saya tak ubahnya seperti manajer dalam sepakbola. Tentu saja, bedanya adalah
profit-nonprofit-oriented nya. Ibu mengatur saat irama lambat, ia harus memiliki inisiatif agar anak-anak semangat. Jeli saat tempo anak-anak cepat, maka ia harus ikut bersemangat. Jeli saat si kecil sudah bosan dengan bermain, dan ingin segera bisa membaca. Menjadi pelopor semangat keluarga, dan tentu saja menjadi teladan baik.
Sebagai seorang manajer, seorang ibu tidak harus bisa melakukan segala hal sendiri. Saat sang kakak tertarik robot, ibu bisa mencarikan tempat kursus, atau berdiskusi dengan ahli atau teman lamanya, atau saudara temannya, atau teman dari saudaranya, atau dengan teman yang baru dikenalnya saat antri berbelanja, atau dengan tetangga, atau dengan kenalan dari saudara teman yang di luar negeri, dan seterusnya.
Ibu juga bisa memaksimalkan penggunaan internet. Sebagai manajer
homeschooling, kita sering mendengar keinginan/pertanyaan tak terduga dari anak. Menguasai cara pencarian informasi merupakan modal. Curilah waktu sedikit di saat anak-anak bermain/tidur untuk belajar memaksimalkan penggunaan internet. Setelah itu dampingi anak-anak memenuhi rasa ingin tahunya. Jika ragu, kita bisa bertanya, atau dimulai dari membaca buku.
Oh iya, buku juga menjadi senjata ampuh kita sebagai manajer. Buku tak harus semua baru. Sekarang ada banyak
e-book gratis. Perpustakaan
online. Atau kita bisa juga mencari buku bekas, meminjam dari perpustakaan, dan sebagainya.
Alhamdulillaah, ternyata banyak juga sumber belajar kita sebagai manajer dadakan. Kuncinya, kita tidak dituntut untuk tahu semua hal, tetapi kita seharusnya mau mendampingi anak-anak untuk belajar bersama tentang sebuah hal.
Oh iya, manajer juga biasanya punya kantor ya. Kalau kita, cukuplah satu lemari kecil dan meja sebagai kantor. 'kantor' ini bermanfaat untuk menyimpan buku-buku catatan tangan, kertas untuk membuat kertas kerja dadakan saat diminta, rujukan-rujukan
homeschooling yang utama, dan sebagainya. Oh iya, saya juga menyimpan buku-buku pelajaran ini di 'kantor saya'. Sesekali, tergoda juga saya, melirik 'materi' anak sekolah. Semangat!