Saat memulai homeschooling dulu, rasanya serbacemas, tidak karuan. Berburu kurikulum, menyusun materi, membuat jadwal, mengunduh kertas kerja, mencari ide-ide belajar, adalah sebagian kegiatan yang saya lakukan. Saat memulai belajar kepada anak ke dua dan ke tiga, keadaan sudah jauh berbeda. Sedikit banyak, anak pertama memiliki andil cukup banyak dalam membangkitkan semangat belajar adik-adiknya.
Keadaan yang cukup menantang buat kami, adalah pada saat adik terkecil masih menyusui, anak ke dua belum sepenuhnya mandiri, dan anak pertama masih memerlukan banyak pendampingan dalam belajarnya. Rasanya luar biasa, heheheh. Saat itu, keadaan saya tidak ada asisten rumah tangga, lengkaplah sudah.Rasanya seperti badai dalam rumah, mulai masalah beres-beres, belajar,pakaian, dan sebagainya bisa menjadi sumber stress.
Tetapi, saya ingat tips teman, yaitu untuk memegang anak pertama. Pastikan anak pertama cukup nyaman, sehingga bisa menerima keadaan dan memahami kondisi ibunya. Maka, perencanaan pun diperlukan. Untuk anak ke dua, yang saat itu berusia 3 tahun, saya siapkan VCD edukasi. Anak pertama, yang saat itu berusia 6 tahun banyak mengisi kegiatannya dengan membuat kreativitas, hafalan, atau membaca iqro. Anak ke tiga bermain di sekililing saya dan kakak pertamanya.
Pembagian tersebut tentunya bukan hal yang mutlak. Saat hafalan surat-surat pendek misalnya, semua anak bergabung. Mengulang bersama-sama semampunya. Demikian juga saat membuat kreativitas, semua anak bisa bergabung. Oh iya, sampai usia menjelang 8 tahun, anak pertama saya masih lebih banyak mengisi kegiatannya dengan hafalan, membaca dan menulis arab, dan membuat kreativitas.
Sempat juga saya membagi-bagi 'kelas' di rumah, tetapi malah berantakan. Saya pun menjadi lebih cepat marah karena adik-adik selalu ingin ikut bergabung. Saat itu fokus saya benar-benar ke anak pertama. Karena dia lah yang lebih bisa mengungkapkan ide, keinginan, rencana. Adik-adik hanya ikut saja, tetapi semuanya kebagian aktivitas. Saat musim hujan, kami tak pernah melewatkan bermain hujan, bermain tanah, dan sebagainya. Yang terpikir saat itu adalah sebuah aktivitas yang melibatkan semua anak. Seringkali juga karena begitu asyiknya, sampai tidak sempat menyetrika atau membersihkan rumah.
Saat usia 8 tahun, anak pertama mulai ingin belajar teratur. Duduk rapih sambil membuka buku di hadapannya. Kami pun membuat jadwal belajar bersama. Ia sudah tak mau lagi bergabung dengan adik-adiknya. Saya pun ingat kembali tips dari teman. Maka saya bagi tugas yang bisa dilakukannya sendiri,sementara saya mendampingi dua anak lain (yang akhirnya ikut-ikutan minta jadwal). Sang kakak juga sudah bisa membantu ibu menjandi asisten belajar untuk anak ke dua, demikian juga anak ke dua bisa menjadi asisten bagi anak ke tiga.
Alhamdulillah kejadiannya tidak seseram yang saya bayangkan dulu. Mendampingi 3 anak yang berbeda usia. Saya hanya perlu fokus dan konsentrasi penuh di anak pertama, selanjutnya ia menularkan semangat dan kreativitasnya kepada adik-adik, yang akhirnya membentuk budaya keluarga. Benarlah kata orang, hal yang paling menakutkan hanya ada dalam bayangan kita, akan berbeda hasilnya saat dijalani.
Keadaan yang cukup menantang buat kami, adalah pada saat adik terkecil masih menyusui, anak ke dua belum sepenuhnya mandiri, dan anak pertama masih memerlukan banyak pendampingan dalam belajarnya. Rasanya luar biasa, heheheh. Saat itu, keadaan saya tidak ada asisten rumah tangga, lengkaplah sudah.Rasanya seperti badai dalam rumah, mulai masalah beres-beres, belajar,pakaian, dan sebagainya bisa menjadi sumber stress.
Tetapi, saya ingat tips teman, yaitu untuk memegang anak pertama. Pastikan anak pertama cukup nyaman, sehingga bisa menerima keadaan dan memahami kondisi ibunya. Maka, perencanaan pun diperlukan. Untuk anak ke dua, yang saat itu berusia 3 tahun, saya siapkan VCD edukasi. Anak pertama, yang saat itu berusia 6 tahun banyak mengisi kegiatannya dengan membuat kreativitas, hafalan, atau membaca iqro. Anak ke tiga bermain di sekililing saya dan kakak pertamanya.
Pembagian tersebut tentunya bukan hal yang mutlak. Saat hafalan surat-surat pendek misalnya, semua anak bergabung. Mengulang bersama-sama semampunya. Demikian juga saat membuat kreativitas, semua anak bisa bergabung. Oh iya, sampai usia menjelang 8 tahun, anak pertama saya masih lebih banyak mengisi kegiatannya dengan hafalan, membaca dan menulis arab, dan membuat kreativitas.
Sempat juga saya membagi-bagi 'kelas' di rumah, tetapi malah berantakan. Saya pun menjadi lebih cepat marah karena adik-adik selalu ingin ikut bergabung. Saat itu fokus saya benar-benar ke anak pertama. Karena dia lah yang lebih bisa mengungkapkan ide, keinginan, rencana. Adik-adik hanya ikut saja, tetapi semuanya kebagian aktivitas. Saat musim hujan, kami tak pernah melewatkan bermain hujan, bermain tanah, dan sebagainya. Yang terpikir saat itu adalah sebuah aktivitas yang melibatkan semua anak. Seringkali juga karena begitu asyiknya, sampai tidak sempat menyetrika atau membersihkan rumah.
Saat usia 8 tahun, anak pertama mulai ingin belajar teratur. Duduk rapih sambil membuka buku di hadapannya. Kami pun membuat jadwal belajar bersama. Ia sudah tak mau lagi bergabung dengan adik-adiknya. Saya pun ingat kembali tips dari teman. Maka saya bagi tugas yang bisa dilakukannya sendiri,sementara saya mendampingi dua anak lain (yang akhirnya ikut-ikutan minta jadwal). Sang kakak juga sudah bisa membantu ibu menjandi asisten belajar untuk anak ke dua, demikian juga anak ke dua bisa menjadi asisten bagi anak ke tiga.
Alhamdulillah kejadiannya tidak seseram yang saya bayangkan dulu. Mendampingi 3 anak yang berbeda usia. Saya hanya perlu fokus dan konsentrasi penuh di anak pertama, selanjutnya ia menularkan semangat dan kreativitasnya kepada adik-adik, yang akhirnya membentuk budaya keluarga. Benarlah kata orang, hal yang paling menakutkan hanya ada dalam bayangan kita, akan berbeda hasilnya saat dijalani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar