Alhamdulillah, kami akan memasuki fase belajar berikutnya, membuka buku-buku yang baru, mempelajari hal-hal yang baru, serta tantangan-tantangan baru. Sejak usia 8 tahun, anak pertama telah memulai belajar terstruktur menggunakan materi anak sekolah serta buku-buku pelajaran sekolah disertai buku-buku lain sebagai penunjang. Saya pernah menguraikan tahapan belajar anak-anak sejak awal HS di cerita belajar kami di sini .
Saya sebagai fasilitator menyiapkan buku-buku yang akan kami pelajari. Kami lebih nyaman memisahkan materi pengetahuan umum dan agama di dua semester yang berbeda. Di semester ganjil, kami akan mempelajar ilmu-ilmu agama, menggunakan buku-buku pelajaran terbitan At Tuqo, yang menurut kami padat, sahih, dan mudah dimengerti.Selain itu, tentu saya memerlukan tambahan buku-buku lain sebagai penunjang.
Konsultasi kepada teman/ahli yang menguasai bidang agama juga merupakan hal penting. Untuk itu, sebelum memulai pembahasan buku yang akan dipelajari, terlebih dahulu saya akan membaca dan berusaha memahami materi tersebut. Saya sangat sering berkonsultasi, bertanya, dan meminta penjelasan dari teman untuk hal-hal yang belum saya pahami. Pada akhirnya saya sendiri merasa minimnya ilmu yang saya miliki, sedangkan waktu terus berputar. Hal ini menjadi cambuk agar saya bersemangat belajar.
Terus terang saja, fokus saya sering buyar antara anak ke 1, 2 dan 3. Saya memiliki beberapa strategi agar semua anak bisa terakomodasi dengan baik.'Amunisi' telah penuh di lemari keterampilan berupa kertas, pensil warna, lem, gunting, dan sebagainya. Anak ke dua diberi tugas saat saya harus belajar bersama anak pertama, demikian sebaliknya. Pada kenyataannya, ada saja aksi/tingkah anak yang membuyarkan semua rencana.
Teknik belajar materi agama tidak terlalu banyak variasinya seperti saat mempelajari materi umum. Hal ini karena penguasaan materi dan pemahamannya lebih diutamakan, sehingga teknik lain (seperti membuat lapbook, dan sebagainya) hanya memanfaatkan sisa waktu. Selain itu, di usianya, anak pertama saya sudah cukup puas 'belajar dengan bermain".
Yang paling penting dalam mempelajari ilmu agama tentulah praktiknya sehari-hari, dan terus terang saja ini merupakan rambu paling mujarab bagi orang tua untuk bersikap sesuai aturan-aturan agama yang telah dipelajari bersama. Maka tak heran, semakin lama, saya merasa, sesungguhnya proses Home Schooling adalah proses belajar saya dan suami saya sebagai orang tua. Anak-anak merupakan buah/hasilnya. Semoga Alloh menjaga akidah kita dan memberikan taufiq-Nya kepada kita, aamiin.
Saya sebagai fasilitator menyiapkan buku-buku yang akan kami pelajari. Kami lebih nyaman memisahkan materi pengetahuan umum dan agama di dua semester yang berbeda. Di semester ganjil, kami akan mempelajar ilmu-ilmu agama, menggunakan buku-buku pelajaran terbitan At Tuqo, yang menurut kami padat, sahih, dan mudah dimengerti.Selain itu, tentu saya memerlukan tambahan buku-buku lain sebagai penunjang.
Konsultasi kepada teman/ahli yang menguasai bidang agama juga merupakan hal penting. Untuk itu, sebelum memulai pembahasan buku yang akan dipelajari, terlebih dahulu saya akan membaca dan berusaha memahami materi tersebut. Saya sangat sering berkonsultasi, bertanya, dan meminta penjelasan dari teman untuk hal-hal yang belum saya pahami. Pada akhirnya saya sendiri merasa minimnya ilmu yang saya miliki, sedangkan waktu terus berputar. Hal ini menjadi cambuk agar saya bersemangat belajar.
Terus terang saja, fokus saya sering buyar antara anak ke 1, 2 dan 3. Saya memiliki beberapa strategi agar semua anak bisa terakomodasi dengan baik.'Amunisi' telah penuh di lemari keterampilan berupa kertas, pensil warna, lem, gunting, dan sebagainya. Anak ke dua diberi tugas saat saya harus belajar bersama anak pertama, demikian sebaliknya. Pada kenyataannya, ada saja aksi/tingkah anak yang membuyarkan semua rencana.
Teknik belajar materi agama tidak terlalu banyak variasinya seperti saat mempelajari materi umum. Hal ini karena penguasaan materi dan pemahamannya lebih diutamakan, sehingga teknik lain (seperti membuat lapbook, dan sebagainya) hanya memanfaatkan sisa waktu. Selain itu, di usianya, anak pertama saya sudah cukup puas 'belajar dengan bermain".
Yang paling penting dalam mempelajari ilmu agama tentulah praktiknya sehari-hari, dan terus terang saja ini merupakan rambu paling mujarab bagi orang tua untuk bersikap sesuai aturan-aturan agama yang telah dipelajari bersama. Maka tak heran, semakin lama, saya merasa, sesungguhnya proses Home Schooling adalah proses belajar saya dan suami saya sebagai orang tua. Anak-anak merupakan buah/hasilnya. Semoga Alloh menjaga akidah kita dan memberikan taufiq-Nya kepada kita, aamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar