Apakah perjalanan Home Education selalu mulus? Tentu saja tidak, sama halnya dengan kegiatan lain. Bagi saya, home education sangat erat kaitannya dengan iklim rumah, iklim hati ibu, dan semua hal yang berkaitan dengannya. Naik-turun pelaksanaan HE kami sangat berhubungan erat dengan naik-turun mood saya sebagai ibu. Saya tidak tau, ini pertanda buruk atau tidak, tetapi setiap kali saya menyadari mood saya jatuh, saya harus segera berbenah. Lalu, apa saja titik-titik kritis HE kami?
Sebenarnya sudah seringkali saya mengalami kegalauan dalam menjalankan HE. Kegalauan pertama muncul saat baru akan benar-benar menjalankannya. Seperti seorang anak yang memulai praktik bersepeda roda dua. Saat semua teori sudah dilahap, sumber-sumber sudah dikunjungi. Perasaan bimbang justru datang saat akan memulai. Sampai saat ini, saya sering melihat beberapa ibu yang memiliki perasaan sama saat baru akan memulai HE. Alhamdulillaah, karena izin Alloh, kemudian berkat diskusi dengan para pelaku HE, serta mengunjungi blog-blog pelaku HE, kekhawatiran itu berangsur reda.
Jadi HS/HE atau tidak ya?
Saat hati ingin sekali menjalankan HS, kenyataan seringkali menjadi tamparan. Mulai dari kesadaran bahwa diri ini bukanlah sosok pribadi yang baik, yang layak menjadi guru untuk anak-anak, sibuknya kita sebagai ibu mengatur segala rupa urusan cucian, setrikaan, piring kotor. Belum lagi saat anak tak kunjung mandiri, pertengkaran dengan adik/kakak. Ooooooohhhh.....rasanyaaaa......
Keraguan lain dalam tahap awal adalah kekhawatiran akan masa depan anak tanpa belajar di sekolah. Terbayang-bayang sulitnya mencari peluang tanpa ijzah, atau bermodalkan ijazah Paket C. Belum lagi kekhawatiran anak akan menajdi 'kurang gaul'.
Bagaimana saya mengatasinya: Tentu saja semua perasaan ragu itu tidak sirna dalam sekejap. Langkah awal yang harus dilakukan para orang tua yang akan menjalankan HS adalah membekali diri dengan informasi yang benar tentang HS. Ingat kembali visi keluarga kita, hal apa yang menjadi prioritas keluarga, dan hal apa yang menjadi pilihan berdasarkan minat anak-anak. Sambil terus menambah pengetahuan tentang HS, orang tua khususnya ibu harus terus beusaha menambah ilmu agama (hal ini adalah pondasi penting, karena seorang pendidik haruslah memiliki modal ilmu agama). Saat ini mungkin kita merasa belum menjadi panutan yang sempurna bagi anak-anak, tetapi berusahalah sekuat tenaga, toh tidak ada ruginya melakukan hal tersebut.
Bagaimana menanggapi komentar keluarga tentang pilihan kita menjalankan HS? Tanggapi komentar tersebut dengan baik, tetaplah bersikap baik, dan tetaplah ingat visi awal keluarga.
Duh, anak-anak yang lain sudah bisa membaca, berhitung dan menulis, bagaimana ini? anak sebelah hafalannya sudah lumayan, jadi hs ngga ya?
Saya suka tergoda dengan hal ini. Apalagi di saat awal menjalankan HS, anak pertama saya hanya suka membuat sesuatu dari kertas, kain, dan sejenisnya. Di saat anak 6-7 tahun sibuk bangun pagi, sekolah, les, dan lain-lain, anak sulung saya masih berkutat dengan kertas, lem, gunting, isolasi. Anak ke dua belum juga bisa membaca di usia 6 tahun. Ia lebih suka mengaduk tanah, memegang cacing, memunguti buah-buahan yang jatuh, dan sebagainya. Saya sempat berpikir akan menyekolahkan saja anak-anak, saya hampir menyerah!
Ternyata keinginan saya menyekolahkan anak saat itu merupakan bentuk pelarian saya dari tanggung jawab. Saya sudah memilih menjalankan HS, tetapi saya menyerah kepada kondisi yang sebenarnya sudah saya baca dari pengalaman-pengalaman pelaku HS senior. Saya sudah memilih, maka akan saya tuntaskan pilihan ini! Itulah tekad saya. Alhamdulillah, puji syukur kepada-Mu Ya Alloh, Engkau menguatkan hatiku untuk menuntaskan pilihan ini, setidaknya saya tidak melarikan diri dari pilihan saya ini.
Saya tinjau ulang semua hal yang membuat saya galau, karena anak-anak belum bisa membaca, menulis, berhitung di saat teman-teman seusianya sudah bisa. Ooooo.....ternyata masalahnya ada di dalam diri saya. Lihatlah, beberapa bulan setelah galau segalau-galaunya, anak saya mulai berusaha membaca, menulis, berhitung.
Kebahagiaan saya, di malam hari itu, anak saya membaca untuk pertama kalinya. Bersuara keras, ia terbata-bata membaca barisan suku kata yang ia kenal sbelumnya, kemudian menuntaskan satu buku tipis itu dengan baik. Jadi, kenapa saya harus khawatir saat itu? Ternyata saya bukan khawatir anak saya tidak pandai, tetapi saya khawatir anak saya akan dinilai ketinggalan, saya khawatir anak saya tidak bisa menjadi kebanggaan di arisan keluarga (ups....astagfirullaahhh...). Ya, cobalah kita jujur, untuk apa sebenarnya kita menemani anak-anak belajar membaca, menulis, dan berhitung? luruskan niat, bukan untuk berbangga-bangga di depan orang lain, tetapi keterampilan tersebut adalah gerbang pembuka bagi pengetahuan yang lebih luas.
Saya tak ada teman pelaku HS, apakah HS saya bisa berjalan dengan baik?
Saat memulai HS, saya bersama teman-teman di lingkungan sekitar membentuk komunitas kecil. KAmi mengadakan perteman rutin.Kegiatan ini rutin terlaksana, kami senang, mantap menjalankan HS, anak-anak pun senang. Sampai akhirnya satu per satu dari kami harus pindah rumah, dan begitupun saya harus pindah ke tempat lain. Menjalankan HS tanpa teman sempat membuat saya galau, apakah sudah benar yang saya jalankan ini? Eh, tunggu sebentar, tanpa teman? Lalu bagaimana dengan teman-teman di media sosial yang sering berbagi pengalaman HS itu? Ooow....sebgai pelaku HS ternyata saya cukup kuno mendefinisikan 'teman'.
Berteman dengan orang-orang baik di media sosial (baik yang menjalankan HS ataupun tidak) memiliki dampak yang cukup baik untuk saya. Yah, setidaknya dari membaca kisah-kisah mereka saya tidak merasa sendiri dalam kegalauan. Para pelaku HS ini memiliki semangat berbagi yang tinggi. Mereka tak ragu membagikan tips, resep masakan mudah, tulisan yang menenangkan jiwa, serta banyak hal lain yang menginspirasi (terima kasih untuk semua teman saya di media sosial). Tekad menghapus akun media sosial akhirnya saya urungkan. Hei, bukankah teknologi itu untuk memudahkan urusan kita? Tentu dengan mengetahui batas-batas penggunaannya.
Selama HS, anak saya tidak pernah bersaing dengan temannya, apakah nanti mentalnya bisa kuat? bisakah ia memasuki dunia yang penuh kompetisi?
Ini sebenarnya pertanyaan dari teman, dan saya tidak pernah berpikir bahwa anak yang tidak terbiasa berkompetisi akan lembek mentalnya. Tujuan pendidikan adalah mengeluarkan potensi anak, memaksimalkan daya. Sebagai orang tua tentu kami ingin semaksimal mungkin berusaha. Kompetisi bukanlah tujuan, tetapi hasil yang baik dalah buah dari usaha, kerja keras yang panjang, yang tak perlu kita nilai sendiri.
Saking ngga pernah berkompetisi, anak-anak hs ini, kalau mengisi soal di buku, ngga pernah berpikir harus dapat nilai sempurna lho, bahkan untuk soal pilihan pun, mereka tidak akan asal memilih jika tidak tau jawabannya.
Masih banyak batu sandungan lain, semoga Alloh Yang Maha Kuat menguatkan diri kami, aamiin.
Sebenarnya sudah seringkali saya mengalami kegalauan dalam menjalankan HE. Kegalauan pertama muncul saat baru akan benar-benar menjalankannya. Seperti seorang anak yang memulai praktik bersepeda roda dua. Saat semua teori sudah dilahap, sumber-sumber sudah dikunjungi. Perasaan bimbang justru datang saat akan memulai. Sampai saat ini, saya sering melihat beberapa ibu yang memiliki perasaan sama saat baru akan memulai HE. Alhamdulillaah, karena izin Alloh, kemudian berkat diskusi dengan para pelaku HE, serta mengunjungi blog-blog pelaku HE, kekhawatiran itu berangsur reda.
Anak-anak belajar tata laksana pengurusan jenazah dari buku saku nenek mereka yang tergeletak di atas meja. |
Jadi HS/HE atau tidak ya?
Saat hati ingin sekali menjalankan HS, kenyataan seringkali menjadi tamparan. Mulai dari kesadaran bahwa diri ini bukanlah sosok pribadi yang baik, yang layak menjadi guru untuk anak-anak, sibuknya kita sebagai ibu mengatur segala rupa urusan cucian, setrikaan, piring kotor. Belum lagi saat anak tak kunjung mandiri, pertengkaran dengan adik/kakak. Ooooooohhhh.....rasanyaaaa......
Keraguan lain dalam tahap awal adalah kekhawatiran akan masa depan anak tanpa belajar di sekolah. Terbayang-bayang sulitnya mencari peluang tanpa ijzah, atau bermodalkan ijazah Paket C. Belum lagi kekhawatiran anak akan menajdi 'kurang gaul'.
Bagaimana saya mengatasinya: Tentu saja semua perasaan ragu itu tidak sirna dalam sekejap. Langkah awal yang harus dilakukan para orang tua yang akan menjalankan HS adalah membekali diri dengan informasi yang benar tentang HS. Ingat kembali visi keluarga kita, hal apa yang menjadi prioritas keluarga, dan hal apa yang menjadi pilihan berdasarkan minat anak-anak. Sambil terus menambah pengetahuan tentang HS, orang tua khususnya ibu harus terus beusaha menambah ilmu agama (hal ini adalah pondasi penting, karena seorang pendidik haruslah memiliki modal ilmu agama). Saat ini mungkin kita merasa belum menjadi panutan yang sempurna bagi anak-anak, tetapi berusahalah sekuat tenaga, toh tidak ada ruginya melakukan hal tersebut.
Bagaimana menanggapi komentar keluarga tentang pilihan kita menjalankan HS? Tanggapi komentar tersebut dengan baik, tetaplah bersikap baik, dan tetaplah ingat visi awal keluarga.
Duh, anak-anak yang lain sudah bisa membaca, berhitung dan menulis, bagaimana ini? anak sebelah hafalannya sudah lumayan, jadi hs ngga ya?
Saya suka tergoda dengan hal ini. Apalagi di saat awal menjalankan HS, anak pertama saya hanya suka membuat sesuatu dari kertas, kain, dan sejenisnya. Di saat anak 6-7 tahun sibuk bangun pagi, sekolah, les, dan lain-lain, anak sulung saya masih berkutat dengan kertas, lem, gunting, isolasi. Anak ke dua belum juga bisa membaca di usia 6 tahun. Ia lebih suka mengaduk tanah, memegang cacing, memunguti buah-buahan yang jatuh, dan sebagainya. Saya sempat berpikir akan menyekolahkan saja anak-anak, saya hampir menyerah!
Ternyata keinginan saya menyekolahkan anak saat itu merupakan bentuk pelarian saya dari tanggung jawab. Saya sudah memilih menjalankan HS, tetapi saya menyerah kepada kondisi yang sebenarnya sudah saya baca dari pengalaman-pengalaman pelaku HS senior. Saya sudah memilih, maka akan saya tuntaskan pilihan ini! Itulah tekad saya. Alhamdulillah, puji syukur kepada-Mu Ya Alloh, Engkau menguatkan hatiku untuk menuntaskan pilihan ini, setidaknya saya tidak melarikan diri dari pilihan saya ini.
Saya tinjau ulang semua hal yang membuat saya galau, karena anak-anak belum bisa membaca, menulis, berhitung di saat teman-teman seusianya sudah bisa. Ooooo.....ternyata masalahnya ada di dalam diri saya. Lihatlah, beberapa bulan setelah galau segalau-galaunya, anak saya mulai berusaha membaca, menulis, berhitung.
Kebahagiaan saya, di malam hari itu, anak saya membaca untuk pertama kalinya. Bersuara keras, ia terbata-bata membaca barisan suku kata yang ia kenal sbelumnya, kemudian menuntaskan satu buku tipis itu dengan baik. Jadi, kenapa saya harus khawatir saat itu? Ternyata saya bukan khawatir anak saya tidak pandai, tetapi saya khawatir anak saya akan dinilai ketinggalan, saya khawatir anak saya tidak bisa menjadi kebanggaan di arisan keluarga (ups....astagfirullaahhh...). Ya, cobalah kita jujur, untuk apa sebenarnya kita menemani anak-anak belajar membaca, menulis, dan berhitung? luruskan niat, bukan untuk berbangga-bangga di depan orang lain, tetapi keterampilan tersebut adalah gerbang pembuka bagi pengetahuan yang lebih luas.
Saya tak ada teman pelaku HS, apakah HS saya bisa berjalan dengan baik?
Saat memulai HS, saya bersama teman-teman di lingkungan sekitar membentuk komunitas kecil. KAmi mengadakan perteman rutin.Kegiatan ini rutin terlaksana, kami senang, mantap menjalankan HS, anak-anak pun senang. Sampai akhirnya satu per satu dari kami harus pindah rumah, dan begitupun saya harus pindah ke tempat lain. Menjalankan HS tanpa teman sempat membuat saya galau, apakah sudah benar yang saya jalankan ini? Eh, tunggu sebentar, tanpa teman? Lalu bagaimana dengan teman-teman di media sosial yang sering berbagi pengalaman HS itu? Ooow....sebgai pelaku HS ternyata saya cukup kuno mendefinisikan 'teman'.
Berteman dengan orang-orang baik di media sosial (baik yang menjalankan HS ataupun tidak) memiliki dampak yang cukup baik untuk saya. Yah, setidaknya dari membaca kisah-kisah mereka saya tidak merasa sendiri dalam kegalauan. Para pelaku HS ini memiliki semangat berbagi yang tinggi. Mereka tak ragu membagikan tips, resep masakan mudah, tulisan yang menenangkan jiwa, serta banyak hal lain yang menginspirasi (terima kasih untuk semua teman saya di media sosial). Tekad menghapus akun media sosial akhirnya saya urungkan. Hei, bukankah teknologi itu untuk memudahkan urusan kita? Tentu dengan mengetahui batas-batas penggunaannya.
Selama HS, anak saya tidak pernah bersaing dengan temannya, apakah nanti mentalnya bisa kuat? bisakah ia memasuki dunia yang penuh kompetisi?
Ini sebenarnya pertanyaan dari teman, dan saya tidak pernah berpikir bahwa anak yang tidak terbiasa berkompetisi akan lembek mentalnya. Tujuan pendidikan adalah mengeluarkan potensi anak, memaksimalkan daya. Sebagai orang tua tentu kami ingin semaksimal mungkin berusaha. Kompetisi bukanlah tujuan, tetapi hasil yang baik dalah buah dari usaha, kerja keras yang panjang, yang tak perlu kita nilai sendiri.
Saking ngga pernah berkompetisi, anak-anak hs ini, kalau mengisi soal di buku, ngga pernah berpikir harus dapat nilai sempurna lho, bahkan untuk soal pilihan pun, mereka tidak akan asal memilih jika tidak tau jawabannya.
Masih banyak batu sandungan lain, semoga Alloh Yang Maha Kuat menguatkan diri kami, aamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar