1.
Meluruskan niat. Menjalankan HS/HE bukanlah hal yang luar
biasa. Proses ini adalah sebuah keniscayaan dalam hidup, saat kita memutuskan
akan menikah. Mempersiapkan diri menjadi madrasah terbaik, bagi para perempuan,
dan memilih lahan pendidikan terbaik bagi para laki-laki.
Saat teman/saudara kita meragukan kemampuan kita sebagai orang tua menjalankan HS/HE, ingatlah niat hanya mengharap ridha Allah Jalla wa ‘ala. Sebaliknya, saat decak kagum datang menghampiri anak/diri kita, ingat pula, ini semua karena karunia Allah, dan berdoalah agar Alah senantiasa menutupi aib kita.
Saat teman/saudara kita meragukan kemampuan kita sebagai orang tua menjalankan HS/HE, ingatlah niat hanya mengharap ridha Allah Jalla wa ‘ala. Sebaliknya, saat decak kagum datang menghampiri anak/diri kita, ingat pula, ini semua karena karunia Allah, dan berdoalah agar Alah senantiasa menutupi aib kita.
Ingatlah di akhirat nanti kita akan ditanya tentang harta kita dihabiskan untuk apa, waktu kita, dan rasa letih kita. “Tidaklah bergeser kedua kaki seorang hamba (menuju shiratul mustaqim) sehingga ia ditanya tentang umurnya untuk apa ia habiskan, tentang ilmunya apa yang ia lakukan dengannya, tentang hartanya dari mana ia peroleh dan kemana ia habiskan, dan tentang anggota tubuhnya untuk apa ia pergunakan.”( HR. Tirmidzi, 4/612 no. 2417 dan Ad Darimi, 1/452 no. 554 Maktabah Syamilah.)
2. Memilah
Ilmu yang Wajib dan yang Fardhu Kifayah
Di antara doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah,
اَللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ وَ مِنْ دُعَاءٍ لاَ يُسْمَعُ وَ مِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ وَ مِنْ عِلْمٍ لاَ يَنْفَعُ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ هَؤُلاَءِ الْأَرْبَعِ
“Ya Allah,
sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari hati yang tidak khusyu’, dari doa
yang tidak didengar, dari jiwa yang tidak puas dan dari ilmu yang tidak
bermanfaat. Aku berlindung dari empat hal itu kepada-Mu.” (HR.
Tirmidzi dan Nasa’i dari Ibnu ‘Amr, dan diriwayatkan oleh Abu Dawud, Nasa’i,
Ibnu Majah dan Hakim dari Abu Hurairah, dan Nasa’i dari Anas, dishahihkan oleh
Syaikh al-Albani dalam Shahihul
Jami’ no. 1297).Seorang penyair berkata,
مَا أَكْثَـرُ الْعِلْـمَ وَمَــا أَوْسَعَــهُ
مَنْ ذَا الَّـذِيْ يَقْــدِرُ أَنْ يَجْمَعَـهُ
إِنْ كُنْـتَ لاَ بـُدَّ لَـهُ طَـالِــبًا
مُحَاوِلاً، فَالْتَمِــسْ أَنْفَعَــــــــهُ
Alangkah banyak ilmu itu dan
alangkah luasnyaSiapakah yang dapat mengumpulkannya
Jika kamu harus mencari dan berusaha kepadanya,
Maka carilah yang bermanfaat darinya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
“Barangsiapa
yang Allah inginkan kebaikan padanya, Allah akan faqihkan ia dalam agama.”
(Muttafaq ‘alaihi).Ilmu yang wajib antar lain: Akidah dan Tauhid, Ilmu Adab, Hadits, Fiqih, Bahasa Arab, Siroh, dan ilmu agama lainnya. Sedangkan ilmu fardhu kifayah antara lain: ilmu kedokteran, kesehatan, pendidikan, dan lainnya yang bisa memenuhi kebutuhan umat.
3.
Memilih guru yang solih dan buku yang benar
Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah menyatakan, bahwa untuk meraih ilmu ada dua jalan. (Diringkas dari Kitabul Ilmi, karya Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah, hlm. 68-69.)
Pertama : Ilmu diambil dari kitab-kitab terpercaya, yang ditulis oleh para ulama yang telah dikenal tingkat keilmuan mereka, amanah, dan aqidah mereka bersih dari berbagai macam bid’ah dan khurafat (dongeng; kebodohan). Mengambil ilmu dari isi kitab-kitab, pasti seseorang akan sampai kepada derajat tertentu, tetapi pada jalan ini ada dua halangan. Halangan pertama, membutuhkan waktu yang lama dan penderitaan yang berat. Halangan kedua, ilmunya lemah, karena tidak dibangun di atas kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip.
Kedua : Ilmu diambil dari seorang guru yang terpercaya di dalam ilmunya dan agamanya. Jalan ini lebih cepat dan lebih kokoh untuk meraih ilmu.
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ مِنْ أَشْرِاطِ السَّاعَةِ أَنْ يُلْتَمَسَ الْعِلْمُ عِنْدَ الْأَصَاغِرِ
"Sesungguhnya di antara tanda hari Kiamat adalah, ilmu diambil dari orang-orang kecil (yaitu ahli bid’ah)".
Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah menyatakan, bahwa untuk meraih ilmu ada dua jalan. (Diringkas dari Kitabul Ilmi, karya Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah, hlm. 68-69.)
Pertama : Ilmu diambil dari kitab-kitab terpercaya, yang ditulis oleh para ulama yang telah dikenal tingkat keilmuan mereka, amanah, dan aqidah mereka bersih dari berbagai macam bid’ah dan khurafat (dongeng; kebodohan). Mengambil ilmu dari isi kitab-kitab, pasti seseorang akan sampai kepada derajat tertentu, tetapi pada jalan ini ada dua halangan. Halangan pertama, membutuhkan waktu yang lama dan penderitaan yang berat. Halangan kedua, ilmunya lemah, karena tidak dibangun di atas kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip.
Kedua : Ilmu diambil dari seorang guru yang terpercaya di dalam ilmunya dan agamanya. Jalan ini lebih cepat dan lebih kokoh untuk meraih ilmu.
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ مِنْ أَشْرِاطِ السَّاعَةِ أَنْ يُلْتَمَسَ الْعِلْمُ عِنْدَ الْأَصَاغِرِ
"Sesungguhnya di antara tanda hari Kiamat adalah, ilmu diambil dari orang-orang kecil (yaitu ahli bid’ah)".
(Riwayat
Ibnul Mubarak, al Lalikai, dan al Khaththib al Baghdadi. Dishahihkan oleh
Syaikh al Albani di dalam Shahih al Jami’ ash Shaghir, no. 2203, dan Syaikh
Salim al Hilali dalam kitab Hilyatul ‘Alim, hlm. 81).
Imam Ibnul Mubarak rahimahullah ditanya : “Siapakah orang-orang kecil itu?”
Beliau menjawab : “Orang-orang yang berbicara dengan fikiran mereka. Adapun shaghir (anak kecil) yang meriwayatkan dari kabir (orang tua, Ahlus Sunnah), maka dia bukan shaghir (ahli bid’ah).
Di dalam riwayat lain, Imam Ibnul Mubarak juga mengatakan: “Orang-orang kecil dari kalangan ahli bid’ah”. (Riwayat al Lalikai, 1/85).
Imam Ibnul Mubarak rahimahullah ditanya : “Siapakah orang-orang kecil itu?”
Beliau menjawab : “Orang-orang yang berbicara dengan fikiran mereka. Adapun shaghir (anak kecil) yang meriwayatkan dari kabir (orang tua, Ahlus Sunnah), maka dia bukan shaghir (ahli bid’ah).
Di dalam riwayat lain, Imam Ibnul Mubarak juga mengatakan: “Orang-orang kecil dari kalangan ahli bid’ah”. (Riwayat al Lalikai, 1/85).
Ada banyak contoh dari Ibunda para ulama tentang memilih guru. Misalnya saja Ibunda Imam Malik, yang memerintahkan anaknya pergi kepada para imam ahli hadits, mengadiri majelis mereka, mengambil adabnya. Sang Ibunda Selalu menyiapkan pakaian terbaik anaknya serta merapikan immamahnya seblum Sang Buah Hati pergi ke majelis ilmu.
Dalam menjalankan HS/HE tak bias dipungkiri, Ibu dan Ayah adalah pendidik utama. Maka, berusahalah memenuhi Kriteria sebagai pendidik sesuai adab yang diajarkan Rasulullooh Shollalloohu ‘alaihi wasallam.
Adab di atas berlaku dalam menuntut ilmu agama. Adapun untuk ilmu dunia/ilmu yang fardhu kifayah, bisa kita ambil dari buku-buku terpilih, situs-situs terpercaya, serta mendatangi ahlinya.
4. Pelajari
adab menuntut ilmu
Imam Malik rahimahullahu
mengisahkan,“Aku berkata kepada ibuku, ‘Aku akan pergi untuk belajar.’ Ibuku berkata,‘Kemarilah!, Pakailah pakaian ilmu!’ Lalu ibuku memakaikan aku mismarah (suatu jenis pakaian) dan meletakkan peci di kepalaku, kemudian memakaikan sorban di atas peci itu. Setelah itu dia berpesan, ‘Sekarang, pergilah untuk belajar!’ Dia juga pernah mengatakan, ‘Pergilah kepada Rabi’ah (guru Imam Malik, pen)! Pelajarilah adabnya sebelum engkau pelajari ilmunya!’.” (‘Audatul Hijaab 2/207, Muhammad Ahmad Al-Muqaddam, Dar Ibul Jauzi, Koiro, cet. Ke-1, 1426 H, Asy-Syamilah)
Abdullah bin Al-Mubarak Rahimahullah Ta’ala berkata : “Hampir saja adab menjadi dua pertiga ilmu. (Sifatush Shafwah 4/145)
Salah seorang Salaf berkata : “Kita lebih butuh adab yang sedikit dibandingkan ilmu yang banyak”. (Madarijus Salikin 2/376)
Abu Abdillah Sufyan bin Sa’id Ats-Tsaury rahimahullah Ta’ala berkata : “Para Ulama tidak mengizinkan anaknya keluar untuk menuntut ilmu sampai mereka beradab dan beribadah selama duapuluh tahun.
Muhammad bin Sirin Rahimahullah Ta’ala berkata : “Mereka para salafus saleh belajar al-Hadyu (adab) seperti mereka belajar ilmu”. (Al-Khatib Al-Baghdadi dalam Al-Jami dari Malik bin Anas)
Abu Zakariya Yahya bin Muhammad Al-Anbary rahimahullah ta’ala berkata : “Ilmu tanpa adab bagaikan api tanpa kayu, dan adab tanpa ilmu bagaikan jasad tanpa ruh”. (Tadzkiratus Sami wa Mutakallim)
Isa bin hamadah rahimahullah ta’ala berkata : “Saya mendengar Al-Layyits bin Sa’ad berkata; “Sungguh para ahli hadits sangat dimuliakan, ketika aku melihat sesuatu pada diri mereka maka aku berkata; “Kebutuhan kalian pada adab yang sedikit lebih butuh dibandingkan ilmu yang banyak”.
Ibrahim bin Habiib Asy-Syahid Rahimahullah berkata : “Wahai anakku datangilah para ahli fiqih dan ulama, dan belajarlah dari mereka, ambilah adabnya, akhlaknya, karena hal itu lebih aku suakai dibandingkan hadits yang banyak”. (Al-Jami’ Liakhlakir Rawi 1/80)
Yusuf bin Al Husain berkata,
بِالأَدَبِ تَفْهَمُ الْعِلْمَ
“Dengan mempelajari adab, maka engkau jadi
mudah memahami ilmutulisan ini bisa diunduh di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar