Menemani
anak-anak 'digital native' perlu strategi khusus. Karena di jaman saya
ibu saya belum tau apa itu era digital, maka segala pengetahuan tentang
hal ini harus saya dan suami pelajari dari awal.
Dulu saya sangat membatasi anak-abak berinteraksi dengan internet. Sebatas kelas online, atau mencari ide kegiatan. Tetapi anak-anak makin ingin tahu. Mereka mulai mencari sendiri ide kegiatan di internet. Mulai dari tutorial di mesin pencari Google, video di Youtube, dan sumber lainnya. Akhirnya saya izinkan mereka memiliki waktu berinternet di luar jadwal belajar tetap. Tentu semua kegiatan ini di bawah pengawasan saya.
Mengapa akhirnya saya mengizinkan mereka bermain internet? Alasan pertama, internet pada masa sekarang ini sulit dihindari. Tak bisa disangkal internet memberi dampak positif. Kedua, Izin saya keluarkan setelah anak pertama berusia 11 tahun. Anak pertama saya nilai telah memiliki bekal yang cukup tentang hal yang boleh dilihat atau tidak, informasi yang berguna atau tidak, dan bisa memilah informasi yang benar atau salah. Dengan pertimbangan ini, anak pertama bisa menjaga kedua adiknya (8&6) dalam pencarian informasi di internet. Alasan ke tiga, anak-anak sudah dibiasakan dengan buku sebagai rujukan pertama. Kebiasaan merujuk ke buku sudah kami lakukan sejak mereka kecil, sampai sekarang. Dengan bekal ini, anak-anak bisa menilai informasi yang bisa dipercaya atau tidak.
Lalu bagaimana orangtua berperan? Saya berusaha selalu berada di dekat mereka saat mereka membuka internet. Saya ikut 'kepo' bersama mereka. Saat mereka sedang ingin tau cara membuat sesuatu, saya ikut antusias, dan menyediakan fasilitasnya (anak-anak biasanya mencoba memasak sesuatu atau membuat mainan).
Peran lain yang cukup penting adalah mendidik anak-anak tentang literasi internet, bahwa internet hanyalah alat bagi manusia. Misalnya jika sebuah saluran di Youtube memiliki banyak pemirsa dan pengikut, maka iklan pun berdatangan. Dari situ anak-anak mendapat inspirasi membuat sesuatu yang bermanfaat bagi banyak orang. Prinsip bermanfaat ini sangat penting ditekankan. Karena tidak semua saluran yang punya banyak pemirsa berisi manfaat. Peran ini bisa dihubungkan langsung dengan nilai dalam keluarga kami, yaitu tentang menjadi manusia terbaik, yang bermanfaat bagi orang lain. Jika ada nilai ruhani di dalam semua aktivitas kita, tentu penilaian dari Allah lebih berharga dibanding banyaknya pemirsa atau jumlah 'like'.
Berkenalan dengan berbagai Youtubers cilik juga menginspirasi anak-anak memiliki bisnis kecil. Mereka melihat 'tren' anak-anak (survey pasar) lalu membuat produk sesuai selera pasar. Anak-anak membuat 'slime' lalu dijual di bazar maupun di rumah. Saat ini sedang hangat permainan 'squshy', anak-anak pun sibuk menyimak cara membuatnya. Squishy pun jadi dan telah laris manis dijual di bazar. Melalui internet pula, Si Sulung yang senang belajar bahasa bisa belajar Bahasa Jepang. Saya tidak tahu, apakah langkah saya ini baik atau tidak. Tetapi menurut saya, cepat atau lambat anak-anak akan berinteraksi dengan internet.
Dulu saya sangat membatasi anak-abak berinteraksi dengan internet. Sebatas kelas online, atau mencari ide kegiatan. Tetapi anak-anak makin ingin tahu. Mereka mulai mencari sendiri ide kegiatan di internet. Mulai dari tutorial di mesin pencari Google, video di Youtube, dan sumber lainnya. Akhirnya saya izinkan mereka memiliki waktu berinternet di luar jadwal belajar tetap. Tentu semua kegiatan ini di bawah pengawasan saya.
Mengapa akhirnya saya mengizinkan mereka bermain internet? Alasan pertama, internet pada masa sekarang ini sulit dihindari. Tak bisa disangkal internet memberi dampak positif. Kedua, Izin saya keluarkan setelah anak pertama berusia 11 tahun. Anak pertama saya nilai telah memiliki bekal yang cukup tentang hal yang boleh dilihat atau tidak, informasi yang berguna atau tidak, dan bisa memilah informasi yang benar atau salah. Dengan pertimbangan ini, anak pertama bisa menjaga kedua adiknya (8&6) dalam pencarian informasi di internet. Alasan ke tiga, anak-anak sudah dibiasakan dengan buku sebagai rujukan pertama. Kebiasaan merujuk ke buku sudah kami lakukan sejak mereka kecil, sampai sekarang. Dengan bekal ini, anak-anak bisa menilai informasi yang bisa dipercaya atau tidak.
Lalu bagaimana orangtua berperan? Saya berusaha selalu berada di dekat mereka saat mereka membuka internet. Saya ikut 'kepo' bersama mereka. Saat mereka sedang ingin tau cara membuat sesuatu, saya ikut antusias, dan menyediakan fasilitasnya (anak-anak biasanya mencoba memasak sesuatu atau membuat mainan).
Peran lain yang cukup penting adalah mendidik anak-anak tentang literasi internet, bahwa internet hanyalah alat bagi manusia. Misalnya jika sebuah saluran di Youtube memiliki banyak pemirsa dan pengikut, maka iklan pun berdatangan. Dari situ anak-anak mendapat inspirasi membuat sesuatu yang bermanfaat bagi banyak orang. Prinsip bermanfaat ini sangat penting ditekankan. Karena tidak semua saluran yang punya banyak pemirsa berisi manfaat. Peran ini bisa dihubungkan langsung dengan nilai dalam keluarga kami, yaitu tentang menjadi manusia terbaik, yang bermanfaat bagi orang lain. Jika ada nilai ruhani di dalam semua aktivitas kita, tentu penilaian dari Allah lebih berharga dibanding banyaknya pemirsa atau jumlah 'like'.
Berkenalan dengan berbagai Youtubers cilik juga menginspirasi anak-anak memiliki bisnis kecil. Mereka melihat 'tren' anak-anak (survey pasar) lalu membuat produk sesuai selera pasar. Anak-anak membuat 'slime' lalu dijual di bazar maupun di rumah. Saat ini sedang hangat permainan 'squshy', anak-anak pun sibuk menyimak cara membuatnya. Squishy pun jadi dan telah laris manis dijual di bazar. Melalui internet pula, Si Sulung yang senang belajar bahasa bisa belajar Bahasa Jepang. Saya tidak tahu, apakah langkah saya ini baik atau tidak. Tetapi menurut saya, cepat atau lambat anak-anak akan berinteraksi dengan internet.
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus