21 September 1996
Adalah hari saat pertama kalinya saya menjadi anak SMA. Gedungnya bukan bangunan 2 lantai, namun hanya sebuah penginapan tua di bilangan Ciputat. "Wisma Hikmat" namanya.
Hampir 100% teman saya kala itu adalah lulusan pesantren. Ada yang dari pesantren tradisional, sampai modern. Jangan salah, ukuran tradisional atau modern nya hanya kurikulum dan fasilitas. Tetapi karakternya ada miripnya, lah.
Jika dibandingkan sekolah kami terdahulu, SMA saya ini menyediakan banyak kenikmatan dunia. Susu hangat di pagi hari, menu lezat penuh gizi, makanan selingan bervariasi, dan bahkan kamar yang ada kamar mandinya sendiri, hihihi.
Yah, walaupun hanya penginapan berlantai kayu yang ranjangnya reyot, kami sangat senang, bahagia dan bersyukur. Rasa syukur itu dibuktikan dengan giatnya kami belajar. Kalau jaman sekarang anak-anak ada remedial, jaman kami ada reremidi, rereremidi, dst sampai paham T_T.
Tibalah masa kami pindah ke gedung sekolah sesungguhnya, alhamdulillaah kali ini bangunannya permanen, bukan sekat triplek. Sebagai sekolah baru, wajarlah beberapa fasilitas belum ada. Diantara kekurangan fasilitas saat itu, yang sangat terasa adalah saat mesin air mati. Bahkan pernah terjadi selama hampir 2 pekan.
Kami tetap menjalani hari-hari biasa. Berusaha irit air, bahkan sampai irit mandi, hihihi. Di saat sulit seperti itu, guru-guru kami tetap tersenyum, tetap mengajar dengan baik. Padahal mereka juga kesulitan, karena sebagian besar guru juga tinggal di asrama.
Selain masalah air, masalah nilai jauh lebih meresahkan kami. Ada beberapa anak yang konon dahulunya adalah juara kelas, melihat nilai 1,2,3,4, atau 5 untuk pertama kalinya. Pojok-pojok asrama yang sepi jadi tempat bersembunyi, merenung, dan tiba-tiba air mata mengalir di pipi... Itulah derita anak-anak di sekolah kami. Bukan masalah fasilitas, tetapi pembuktian diri.
Kalau dari hasil bincang-bincang dengan sesama peraih nilai anjlok sih, alasan sedihnya karena khawatir membuat kecewa orang tua. Alasan lainnya, merasa tidak enak karena sekolah sudah memberikan sangaaaat banyak (buku, seragam, sepatu, kaos kaki, selimut, sikat gigi, laundry semuanya gratis). Dan yang paling penting, kami tidak enak kepada para guru yang sudah berusaha luar biasa mendidik kami.
Kami biasa mengetuk pintu kamar guru kapan saja untuk minta tambahan waktu belajar. Kami terbiasa melakukan remedial bahkan di malam Sabtu dan malam Ahad, dan hal itu semua pasti menyita waktu pribadi para guru. Tetapi guru-guru kami tak pernah menolak, bahkan kami didorong masuk klinik bidang studi di hari libur, demi mendapatkan penjelasan materi yang lebih banyak.
Maaf ya Pak, Bu, otak kami kelas ekonomi, hihihi.
Ketulusan guru dalam mendidik kami sangat terasa. Para guru selalu memiliki lebih dari 1 sumber pelajaran saat mengajar. Tak ada penolakan saat kami meminta penjelasan ulang, jam tambahan, hari tambahan. Bahkan justru kami yang mendapatkan makanan tambahan, maasyaa Allah. Guru-guru kami kasihan melihat kami. Kemudian mereka membuatkan kami makanan dan minuman tambahan, menyuapi kami vitamin dan minyak ikan (di bagian ini saya muntah, maaf ya buuuu).
Sampai sekarang jika saya ditanya dulu belajar apa saat SMA, kayaknya 90% banyak yang lupa, hehehhehee. Tetapi insyaa Allah saya mengingat dengan baik keteladanan guru-guru saya, yang menjadi inspirasi saya saat mempersiapkan diri mengajar murid-murid saya saat ini.
Dari keteladanan yang diperlihatkan guru-guru saya, saya menyimpulkan bahwa tugas utama guru adalah memberi inspirasi. Ayah dan ibu adalah guru, kakek dan nenek adalah guru, kita adalah guru bagi lingkungan kita berada, jika kit MAU!
Sebuah sekolah tetaplah sekolah mesti tak punya gedung. Sebuah sekolah juga tetap sekolah, meskipun tanpa kurikulum baku, modern, kekinian. Tetapi sebuah sekolah hanya tinggal nama, jika tak ada GURU.
Tak terasa sekolahku kini 25th sudah. Semoga guru-guru Insan Cendekia Serpong terus menginspirasi. Semoga ilmu Bapak dan ibu guru menjadi amal jariah pemberat timbangan kebaikan. Sehat selalu, Pak, Bu. Baarakallaahu fiikum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar